MimbarRiau.com - Aktivis Riau, Muhajirin Siringo Ringo, melontarkan kritik tajam terhadap kepemimpinan Gubernur Riau, Abdul Wahid, terkait kompensasi yang minim dari hasil kekayaan minyak bumi di provinsi tersebut.
Muhajirin secara spesifik menyoroti isu bagi hasil atau kompensasi yang dinilainya hanya '1 dollar untuk negeri kaya minyak' per bulan, sebuah fakta yang menurutnya memprihatinkan dan menjadi bukti nyata dari lemahnya daya lobi (kekuatan tawar) dan kedudukan Gubernur di mata pemerintah pusat.
Kekayaan Minyak vs. Kompensasi ‘$1’
Dalam pernyataannya, Muhajirin menyatakan keheranannya atas perbandingan antara kekayaan sumber daya alam Riau, yang dikenal sebagai salah satu lumbung minyak terbesar di Indonesia, dengan porsi keuntungan yang diterima daerah.
"Riau ini negeri kaya minyak, tapi faktanya kita hanya terima kompensasi yang sangat kecil. Angka '$1 per bulan' ini (merujuk pada kompensasi atau Participating Interest (PI) yang sangat kecil dan menjadi perbincangan publik) adalah tamparan keras," ujar Muhajirin.
Menurutnya, nominal yang sangat kecil ini di tengah masifnya eksploitasi minyak menggambarkan kegagalan kepemimpinan daerah dalam memperjuangkan hak-hak finansial Riau.
Kedudukan Gubernur Dinilai Sangat Lemah di Pusat
Kritik utama Muhajirin langsung tertuju pada Gubernur Abdul Wahid. Ia menilai, kondisi timpang ini tidak akan terjadi jika pemimpin daerah memiliki kedudukan dan daya lobi yang kuat di Jakarta.
"Ini bukan soal minyaknya habis, tapi soal pemimpinnya. Gubernur Abdul Wahid sebagai pemimpin Riau sangat lemah di mata pusat," tegas Muhajirin. “Lemahnya daya lobi dan kedudukan beliau membuat Riau hanya menjadi sapi perah, di mana hasil bumi kita dikuras, tetapi daerah hanya menerima remah-remah.”
Muhajirin menambahkan bahwa seorang Gubernur Riau seharusnya mampu bersuara lantang dan bernegosiasi keras untuk memastikan adanya keadilan dalam pembagian hasil migas (minyak dan gas) demi kemakmuran masyarakat Riau.
Ia menuntut agar Gubernur Wahid segera menunjukkan langkah konkret dan ketegasan dalam berhadapan dengan otoritas pusat dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), khususnya dalam meninjau ulang skema kompensasi atau bagi hasil yang dinilai sangat merugikan daerah.**