Air Mata di Tengah Genangan: Misteri Status Bencana Nasional Banjir Sumatera dan Dugaan 'Ketakutan' Pemerintah

Air Mata di Tengah Genangan: Misteri Status Bencana Nasional Banjir Sumatera dan Dugaan 'Ketakutan' Pemerintah

SUMATERA — Rintihan duka tak kunjung mereda di bumi Sumatera. Banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di pulau ini telah merenggut ribuan nyawa, menghilangkan harta benda, dan menghancurkan harapan. 

Namun, di tengah tragedi kemanusiaan yang masif ini, satu pertanyaan krusial terus menggantung: Mengapa Pemerintah belum menetapkan status bencana nasional untuk musibah banjir Sumatera?

Seorang tokoh masyarakat dan aktivis lingkungan yang vokal, Muhajirin Siringo Ringo, menyoroti keengganan pemerintah pusat ini dengan dugaan yang tajam dan menyentuh inti permasalahan. 

Menurutnya, ada 'ketakutan' mendalam yang menjadi alasan di balik lambatnya penetapan status yang sangat dinantikan tersebut.

Muhajirin Siringo Ringo berpendapat bahwa penetapan status bencana nasional adalah kunci yang akan membuka pintu bagi gelombang bantuan dari mancanegara. 

Bantuan ini, yang sangat dibutuhkan oleh para korban dan untuk upaya rehabilitasi pasca-bencana, secara otomatis akan menarik perhatian global.

“Kalau status bencana nasional sudah ditetapkan, bantuan dari banyak negara pasti berdatangan. Dan ini yang harus dipahami, bantuan itu tidak datang sendirian,” ujar Muhajirin dengan nada penuh kekecewaan.

Ia melanjutkan, wartawan-wartawan dan media internasional dipastikan akan mengiringi bantuan tersebut. Tujuan mereka jelas: memastikan penyalurannya tepat sasaran dan meliput kondisi riil di lapangan. 

Kehadiran pers asing ini, dalam pandangan Muhajirin, adalah yang paling dihindari oleh pihak-pihak tertentu di pemerintahan.

“Wartawan internasional akan menjadi mata dan telinga dunia. Mereka akan meliput dengan standar yang sangat tinggi, tidak hanya tentang bagaimana tenda didirikan, tetapi juga tentang bagaimana dana disalurkan. Ini adalah jaminan transparansi yang ditakuti,” tegasnya.

Namun, 'ketakutan' pemerintah, menurut Muhajirin, jauh lebih dalam daripada sekadar persoalan logistik dan penyaluran bantuan. Ia menduga inti kekhawatiran itu terletak pada penelusuran penyebab banjir.

Saat jurnalis-jurnalis internasional mulai bekerja, mereka pasti akan mencoba memahami akar masalah mengapa banjir di Sumatera begitu masif dan mematikan. Di sinilah, Muhajirin menduga, borok-borok kejahatan lingkungan di Indonesia akan tersingkap di panggung dunia.

“Kami semua melihatnya. Warga di lokasi bencana melihatnya. Kayu-kayu gelondongan yang besar-besar itu berseliweran, terseret oleh derasnya air bah. Itu bukan ranting, itu adalah bukti nyata dari maraknya penggundulan hutan yang terjadi di Sumatera,” kata Muhajirin dengan suara yang bergetar.

Ia menyayangkan, jika status bencana nasional ditetapkan, berisiko besar bagi berita-berita internasional terkait deforestasi masif ini akan menyebar luas. Dunia akan melihat dengan jelas bahwa bencana alam yang terjadi adalah bencana yang diciptakan oleh tangan manusia melalui praktik-praktik ilegal dan kurangnya pengawasan.

“Mereka takut nama Indonesia akan tercoreng di mata dunia karena tidak mampu menjaga hutannya. Mereka takut kejahatan lingkungan yang sudah berlangsung lama ini akan disorot. Ini bukan hanya bencana alam, ini adalah bencana moral yang disebabkan oleh pembiaran,” kecam Muhajirin.

Hingga saat ini, status bencana nasional belum juga ditetapkan, padahal korban jiwa terus bertambah dan dampak kerusakan meluas. Muhajirin Siringo Ringo dengan tegas menyayangkan sikap ini.

“Sudah berapa banyak korban jiwa yang harus direnggut? Sudah berapa keluarga yang kehilangan segalanya? Status bencana nasional bukan hanya soal uang, tapi soal prioritas negara dalam menyelamatkan warganya,” ujarnya.

Penetapan status bencana nasional akan mempermudah mobilisasi sumber daya dari seluruh lini pemerintahan, mempercepat proses birokrasi, dan memberikan kekuatan hukum yang lebih besar untuk penanganan darurat. 

Keterlambatan ini, menurut banyak pihak, termasuk Muhajirin, menunjukkan adanya kepentingan yang lebih besar—kepentingan untuk mengendalikan narasi—daripada kepentingan untuk menyelamatkan nyawa masyarakat.

Muhajirin Siringo Ringo menutup pernyataannya dengan seruan: “Pemerintah harusnya fokus pada penderitaan rakyat, bukan pada menjaga citra. 

Nyawa rakyat jauh lebih berharga daripada ‘ketakutan’ akan sorotan wartawan internasional. Tetapkan status bencana nasional sekarang juga. **

Berita Lainnya

Index