Jakarta - SEJARAH menunjukkan bahwa nyala perubahan hampir selalu dimulai dari generasi muda. Dari Budi Utomo 1908 yang mempelopori kesadaran kebangsaan, Sumpah Pemuda 1928 yang merumuskan identitas Indonesia, hingga Gerakan Mahasiswa 1966 yang mengguncang rezim Sukarno.
Paling dekat dalam ingatan tentu gerakan Reformasi 1998. Buku-buku yang dilarang saat itu, diskusi bawah tanah, dan pertemuan kecil di kampus menjadi amunisi intelektual mereka. Puncaknya adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR, menuntut Soeharto turun. Saat itu negara menuding anak-anak muda ini radikal.
Setelah reformasi, diskusi politik anak-anak muda terus berjalan. Mediumnya pun mengalami perubahan. Lewat media sosial, anak-anak muda ini menyuarakan keberpihakannya kepada rakyat. Demonstrasi besar-besaran bertajuk Reformasi Dikorupsi pada 2019 menunjukkan gerakan anak-anak muda itu memperlihatkan wujud barunya.
Gerakan anak muda ini terus berlanjut hingga kini. Unjuk rasa solidaritas atas kematian sopir ojek online Affan Kurniawan pada Agustus lalu pun mayoritas diikuti mahasiswa dan pelajar. Setelah unjuk rasa yang berujung kerusuhan itu, polisi mulai menangkapi anak-anak muda yang dituding terlibat dalam penghasutan dan kerusuhan.
Muhammad Fakhrurrozi, seorang aktivis asal Yogyakarta, adalah salah satu yang ditangkap menyusul Direktur Lokataru Delpedro Marhaen; admin Gejayan Memanggil, Syahdan; dan aktivis muda lain. Tuduhan terhadap mereka bukan sekadar soal peristiwa kerusuhan di jalan. Ia bagian dari pola lama: negara panik menghadapi anak muda yang melek politik.
Muhammad Fakhrurrozi adalah salah satu wajah dari gelombang baru anak muda yang rajin memberikan pendidikan politik kepada mahasiswa dan pelajar. Lewat Komite Politik, ia banyak mengorganisasi festival literasi hingga menggelar kelas politik. Kelas ini mengundang berbagai akademikus, aktivis, dan intelektual publik untuk membedah berbagai masalah, seperti isu HAM, agraria, hingga kebebasan sipil.
Bagi anak muda, ini adalah ruang belajar: tempat memahami bahwa politik bukan sekadar berebut kursi, melainkan juga soal keadilan dan keberpihakan.
Lewat diskusi dengan berbagai medium dan tempat itu, anak-anak muda ini membangun gerakan yang cair tanpa hierarki dan lebih dekat dengan kultur digital.
Penangkapan anak-anak muda seperti Paul, Delpedro, dan Syahdan, menurut akademikus Universitas Hamburg, Abdil Mughis Mudhoffir, merupakan cermin ketakutan negara. Sejak protes 2019, pelajar dan mahasiswa makin sadar politik. Menurut dia, aparat panik karena bacaan kritis memperkuat mereka.
Dosen Universitas Gadjah Mada, Oki Rahadianto, melihat hal yang sama. Anak-anak muda turun ke jalan karena ketimpangan sosial yang makin mencekik: sulitnya akses pendidikan, kerja, dan jaminan hidup.
Jika kita mundur seabad, anak-anak muda selalu berdiri di garis depan perubahan. Mereka menulis manifesto hingga menuntut rezim jatuh. Namun mereka dituduh subversif, dianggap perusuh, bahkan dipenjara. Namun sejarah tak pernah menulis mereka sebagai kriminal, melainkan mengenangnya sebagai penggerak perubahan.
Gerakan anak muda ini akan terus terekam dalam sejarah. Penangkapan para aktivis muda akhir-akhir ini dan bagaimana para akademikus melihat pola gerakan itu kami tuliskan dalam artikel.