Ratusan Anak Masih Ditahan Polisi Usai Demonstrasi Agustus, Ditangkap dengan Cara Kekerasan

Ratusan Anak Masih Ditahan Polisi Usai Demonstrasi Agustus, Ditangkap dengan Cara Kekerasan
Massa demonstrasi di DPR memadati Jalan Gatot Subroto, 29 Agustus 2025. Tempo/Dian Rahma

Jakarta - RATUSAN anak di bawah umur masih ditahan di kantor polisi di berbagai daerah seusai demonstrasi yang berlangsung selama beberapa hari pada Agustus 2025, menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Hasil pemantauan terakhir KPAI menunjukkan ada sedikitnya 2.093 anak yang sempat dibawa ke kepolisian. “Kemudian, masih ada ratusan anak yang masih berproses (secara hukum),” kata Anggota KPAI Diyah Puspitarini lewat pesan suara, seperti dikutip pada Sabtu, 13 September 2025.

Dari ribuan anak di bawah usia 18 tahun yang ditangkap polisi, sebanyak 629 di antaranya berada di DKI Jakarta. Kemudian, 277 anak berada di Jawa Barat, 53 di Jawa Timur, 43 di Bali, dan 24 di Yogyakarta. Enam anak tercatat ditangkap di Sulawesi Selatan dan tiga di Maluku Utara. Sedangkan, jumlah tertinggi tercatat di Jawa Tengah, dengan 1.058 anak ditangkap oleh polisi.

Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan belum bisa memastikan berapa persisnya jumlah anak yang masih ditahan hingga saat ini. Beberapa hal masih harus dicek kembali. “Berapa jumlah anak, tersebar di mana aja, dan juga kondisinya,” kata dia lewat pesan singkat.

Namun, Margaret memastikan tahanan anak-anak diperlakukan secara khusus. Ia mengatakan perlakuan terhadap tahanan anak-anak mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). “Diperlakukan secara manusiawi, tidak mendapatkan perlakuan yang kejam, serta terpenuhi hak-hak dasar mereka,” ucapnya.

Selain itu, ia juga memastikan keamanan identitas para tahanan anak-anak. “Serta tidak dicampur dengan tahanan dewasa,” kata dia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mencatat 583 orang dari total 5.444 massa yang ditangkap dalam demonstrasi rusuh akhir Agustus 2025 masih menjalani proses hukum. Mereka tersebar di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan.

Anak Mengalami Kekerasan
Hasil pengawasan dan pemantauan KPAI beserta mitranya menunjukkan ada beberapa pola yang berulang saat anak-anak ditangkap. Salah satunya adalah penangkapan anak diiringi oleh kekerasan. 

“Selama penangkapan dan pemeriksaan, anak mengalami kekerasan verbal dan fisik,” demikian catatan KPAI yang disampaikan dalam rapat koordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, pada 8 September 2025.

Tiga pola lain yang ditemukan KPAI yakni adanya indikasi mobilisasi anak dari kabupaten/kota sekitar, penahanan anak cenderung dilakukan saat demonstrasi pada 30 Agustus – 1 September 2025, dan minimnya pendampingan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) bagi anak-anak tersebut.

Temuan KPAI selaras dengan pemantauan yang juga dilakukan oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), kelompok pengacara publik yang terdiri dari beberapa anggota organisasi masyarakat sipil.

Berdasarkan catatan terakhir TAUD pada 9 September 2025, setidaknya ada 399 anak di bawah umur yang ditangkap polisi saat demonstrasi. Sebanyak 382 di antaranya sempat ditahan dan 331 anak telah dibebaskan. Lima orang tercatat masih ditahan di kantor polisi, dan keberadaan 59 orang lainnya masih harus dikonfirmasi.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sekaligus perwakilan TAUD, Alif Fauzi Nurwidiastomo, menggarisbawahi adanya beberapa pelanggaran yang dilakukan polisi saat menangkap demonstran.

Salah satunya adalah penangkapan – termasuk terhadap anak – melebihi batas waktu satu hari, sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana. “Anak-anak pada saat itu dilakukan penangkapan lebih dari 1 x 24 jam,” kata Alif saat konferensi pers di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, 9 September 2025.

Ia juga mencatat bahwa polisi tidak segera memberitahukan penangkapan dan penahanan kepada anggota keluarga orang yang terlibat. Selain itu, ia berkata, sejumlah pemeriksaan di kepolisian rata-rata berjalan tanpa didampingi oleh penasihat hukum.

Alif juga mengatakan penangkapan rata-rata dilakukan dengan kekerasan. Menurut pemantauannya, salah satu orang yang ditangkap adalah korban luka akibat tembakan peluru karet di wilayah Jakarta Timur. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo atau RSCM.

“Namun dijemput secara paksa, atau dalam tanda kutip dilakukan penangkapan, oleh Polres Jakarta Timur untuk dipaksa memberikan keterangannya sebagai tersangka,” kata dia.

Ia menegaskan bahwa hal tersebut melanggar hukum acara pidana. “Karena di dalam berita acara pemeriksaan, pertanyaan paling pertama adalah, ‘Apakah Anda sudah sehat jasmani dan rohani?’ Tentunya ini telah melanggar prosedural dalam hukuman acara pidana,” tuturnya.

Berita Lainnya

Index