Rohil Terlambat Siaga, Titik Api Terbanyak Jadi Harga yang Harus Dibayar

Rohil Terlambat Siaga, Titik Api Terbanyak Jadi Harga yang Harus Dibayar

Rokan Hilir - Di tengah kepungan kabut asap yang mulai menyelimuti langit Riau, satu fakta mencengangkan muncul ke permukaan: Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) menjadi kabupaten terakhir yang menetapkan status siaga darurat karhutla dan ironisnya, kini menyandang daerah dengan jumlah titik api terbanyak se-Provinsi Riau.

Sampai pertengahan Juli 2025, tercatat 77 titik api muncul di berbagai wilayah Rohil. Status siaga darurat baru ditetapkan belakangan, setelah sejumlah kabupaten/kota lain di Riau sudah lebih dulu mengantisipasi sejak Februari hingga April lalu. Pertanyaannya: Mengapa Rohil selalu terlambat sadar ketika asap sudah menyesakkan?

Gagal Antisipasi, Gagal Belajar dari Tahun-Tahun Sebelumnya

Rohil bukan pemain baru dalam siklus karhutla. Setiap tahun, wilayah ini termasuk zona rawan karena dominasi lahan gambut dan lemahnya pengawasan. Namun, alih-alih bergerak cepat, Pemkab Rohil kembali menunjukkan pola lama: menunggu bencana membesar baru bereaksi.

Padahal, status siaga darurat bukan hanya formalitas. Ia menjadi dasar hukum untuk:

Mengerahkan sumber daya dengan cepat, Membentuk Satgas Gabungan lebih awal, Mempercepat alokasi dana tak terduga, Menarik dukungan helikopter water bombing dari BNPB. 

Dengan tidak menetapkan status siaga sejak awal musim kemarau, Rohil seakan melepaskan kesempatan untuk mencegah sebelum membakar.

Akibatnya: Terbakar Dulu, Baru Panik Kemudian

Akibat lambatnya langkah antisipasi:

77 titik api merebak dalam waktu singkat, Ratusan hektare lahan terbakar, Asap mulai merambah ke permukiman dan mengganggu aktivitas warga, Petugas pemadam bekerja ekstra keras tanpa dukungan maksimal di awal.

Kondisi ini membuat publik bertanya: Apakah pemerintah daerah benar-benar memahami arti darurat? Atau menunggu “viral”dulu baru bergerak?

Minim Transparansi, Minim Keseriusan?

Kritik lainnya datang dari minimnya komunikasi publik terkait:

Peta rawan karhutla di Rohil, Kesiapan personel dan sarana pemadaman, Koordinasi dengan perusahaan pemilik lahan, Keterlibatan masyarakat desa dalam patroli dini. 

Padahal, di banyak kabupaten lain di Riau, langkah-langkah ini sudah dijalankan jauh sebelum titik api muncul.

Jangan Lagi Bangga dengan Jumlah Terbanyak

Menyandang status sebagai kabupaten dengan titik api terbanyak bukanlah prestasi melainkan peringatan keras bahwa sistem mitigasi gagal total. Ketika kabupaten lain berlomba mencegah, Rohil justru tertinggal dan kini berada dalam posisi memadamkan.

Mungkin inilah harga dari kebijakan yang lambat dan reaktif: asap datang lebih dulu daripada surat keputusan.

Harapan Publik: Jangan Ulangi Siklus Malu Ini.

Masyarakat Rohil menuntut:

Evaluasi total kebijakan penanggulangan karhutla di Rohil, Penetapan status siaga di awal tahun sesuai prediksi BMKG, Keterlibatan masyarakat desa secara aktif dalam pencegahan dini, Transparansi penuh dalam penggunaan anggaran penanganan karhutla. Dan yang paling penting, jangan tunggu terbakar lagi untuk belajar bertindak.

Penutup:

Rohil boleh saja terlambat menetapkan siaga, tapi jangan sampai terlambat pula mengevaluasi kesalahan. Karena jika pola ini terus terulang, bukan hanya lahan yang terbakar tapi juga kepercayaan masyarakat.

Oleh: Muhajirin Siringo Ringo

Berita Lainnya

Index