MimbarRiau.com - PEMERINTAH telah lama meregulasi para penyiar, jurnalis, dan penerbit dengan sertifikasi kompetensi. Kini mereka berencana membidik kelompok penentu tren daring di media sosial dengan sertifikasi serupa.
Kementerian Komunikasi dan Digital sedang menjajaki skema sertifikasi bagi para pemengaruh dan kreator konten. Tujuannya adalah membendung gelombang misinformasi di platform media sosial. Namun akademikus dan kelompok sipil menyoroti implikasi yang lebih luas dari rencana ini.
Ide ini terinspirasi oleh kebijakan di Cina pada tahun ini. Beijing kini mewajibkan para influencer mendapatkan sertifikasi sebelum membahas topik-topik sensitif, seperti kesehatan, keuangan, dan hukum. Platform seperti Weibo dan Douyin mewajibkan kepatuhan ini. Denda yang dikenakan bagi mereka yang tak menaatinya mencapai 100 ribu yuan. Indonesia tampaknya terkesan oleh langkah Cina itu.
Tentu ada perbedaan antara negara ini dan Cina. Negeri Tirai Bambu itu mengendalikan platform media sosialnya, sedangkan Indonesia tidak. Meski demokrasi Indonesia masih belum sempurna, demokrasi tetaplah demokrasi—ditandai suara-suara kritis yang tidak bisa dibungkam oleh pihak berwenang tanpa pengawasan publik.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komdigi Bonifasius Wahyu Pudjianto mengatakan wacana sertifikasi ini masih dalam tahap awal. Bahkan wacana ini belum sampai ke meja Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid. Wahyu mengklaim pemerintah tetap memprioritaskan kebebasan berekspresi.
Platform seperti YouTube menyambut baik gagasan ini. Bagaimanapun juga, menurut mereka, standardisasi ini menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap profesi kreator konten.
Namun para akademikus dan aktivis hak-hak digital justru melihat ada motif yang lebih besar di balik wacana ini. Para pemengaruh makin membentuk narasi politik, bahkan sering kali lebih efektif ketimbang media tradisional. Sistem kredensial, menurut mereka, dapat menentukan mana narasi yang resmi dan mana yang tidak.
Di tengah menurunnya kepercayaan terhadap lembaga pemerintah, godaan untuk mendisiplinkan suara-suara di media sosial makin kuat.
Adapun dari sisi ekonomi, sertifikasi bisa menjadi pintu masuk pendataan pajak bagi para influencer. Harus diakui bahwa bisnis pemengaruh ini bukanlah pasar yang kecil. Sertifikasi akan memudahkan pelacakan, siapa mendapatkan apa—dan siapa yang berutang apa—kepada negara.
Ada pula kekhawatiran lain. Sertifikasi tidak akan banyak membantu memerangi misinformasi buatan akal imitasi, yang kini menyebar lebih cepat daripada hoaks buatan manusia. “Untuk urusan validasi dalam pembuatan konten, kuncinya adalah kredibilitas sumber. Kreator konten perlu mencantumkan sumber informasi yang dikutip dalam kontennya,” kata kreator konten di Instagram dan TikTok, Gerald Vincent.
Indonesia sebetulnya sudah punya Badan Nasional Sertifikasi Profesi—yang sebagian besar bersifat sukarela dan didorong oleh industri. Membangun sertifikasi lewat birokrasi baru berisiko mubazir dan memberatkan, terutama bagi kreator konten berskala kecil.
Kreativitas tumbuh subur dalam kebebasan, bukan di bawah bayang-bayang regulasi. Aktivis dan akademikus memperingatkan akan datangnya masa depan ketika para pemengaruh yang berbeda pendapat bisa kehilangan hak bicaranya hanya karena urusan sertifikasi.
Indonesia kini memang menghadapi tantangan yang nyata, yaitu ruang digital yang riuh dan sering kali terpapar hoaks. Namun, meniru pendekatan ala Cina, tanpa struktur dan platform atau sistem politik seperti negara itu, tampaknya mustahil untuk berhasil.
Arah yang lebih baik mungkin tidak terletak pada pemberian sertifikasi pada individu, tapi meminta pertanggungjawaban kepada industri: transparansi dan investasi dalam literasi digital.