Siak - Pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Di pundak generasi muda lah masa depan negeri digantungkan. Maka, setiap kebijakan kepala daerah semestinya berpihak pada dunia pendidikan, memperkuat akses, dan memastikan tidak ada anak yang tertinggal hanya karena persoalan biaya. Namun, apa yang terjadi di Kabupaten Siak justru menunjukkan arah sebaliknya: kebijakan yang merugikan dunia pendidikan, membingungkan publik, dan menimbulkan pertanyaan besar soal prioritas Bupati saat ini.
Langkah pertama yang menyulut polemik adalah pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) yang namanya tak lepas dari dugaan kasus korupsi. Sosok dengan rekam jejak buram itu justru dipilih untuk menduduki jabatan strategis, padahal Sekda adalah motor penggerak roda birokrasi. Keputusan ini tentu mencederai semangat reformasi birokrasi, serta menimbulkan kesan bahwa kepentingan pribadi dan politik lebih diutamakan ketimbang integritas dan profesionalisme.
Tak berhenti di situ, publik semakin dibuat geleng kepala dengan dihapusnya program seragam sekolah gratis yang sejak lama menjadi kebanggaan Siak. Program ini terbukti meringankan beban orang tua, terutama dari keluarga tidak mampu. Dengan membatalkan program tersebut, ribuan pelajar di Siak kembali dipaksa menanggung biaya tambahan, sementara pemerintah daerah justru terkesan abai terhadap kesulitan masyarakat.
Ironisnya lagi, anggaran beasiswa mahasiswa yang selama ini menjadi jembatan harapan generasi muda untuk melanjutkan pendidikan tinggi, dipotong secara sepihak. Padahal, di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, beasiswa bukan sekadar bantuan, melainkan penyelamat bagi banyak anak muda yang bercita-cita mengangkat derajat keluarga melalui pendidikan. Pemotongan ini jelas melukai semangat anak-anak muda Siak yang ingin menuntut ilmu lebih tinggi.
Bila dilihat secara utuh, rangkaian kebijakan ini membentuk pola yang sama: pengabaian terhadap dunia pendidikan. Di satu sisi, birokrasi dipimpin oleh figur bermasalah, di sisi lain rakyat kecil kembali diperas tenaganya untuk menanggung biaya pendidikan. Masyarakat pun wajar bertanya: apakah pendidikan tidak lagi menjadi prioritas utama dalam kepemimpinan Bupati hari ini?
Suara Aktivis Pendidikan
Muhajirin Siringo Ringo, seorang aktivis peduli pendidikan Riau, menegaskan bahwa kebijakan ini sama sekali tidak berpihak kepada rakyat.
“Saya menilai Bupati Siak sedang mengobok-obok dunia pendidikan. Dari pelantikan Sekda yang diduga korupsi, penghapusan seragam gratis, hingga pemotongan beasiswa mahasiswa, semuanya menunjukkan ketidakpekaan terhadap masa depan generasi muda. Jika pendidikan tidak lagi menjadi prioritas, maka kita sedang menyiapkan bencana jangka panjang: generasi yang kehilangan akses, terpinggirkan, dan kehilangan harapan,” ujarnya.
Muhajirin menambahkan, seharusnya Bupati Siak sadar bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan. Dengan mencabut program yang pro-rakyat dan melemahkan dukungan kepada mahasiswa, Bupati justru memperlebar jurang ketidakadilan sosial.
Mengingatkan Pemerintah Daerah
Opini ini tentu bukan sekadar kritik, melainkan juga peringatan keras agar Bupati Siak tidak bermain-main dengan masa depan generasi. Pendidikan harus menjadi prioritas, bukan korban dari kebijakan yang elitis.
Di tengah kondisi ekonomi sulit, pemerintah mestinya hadir memberikan solusi, bukan malah mencabut fasilitas yang sudah berjalan. Jika terus dibiarkan, bukan hanya kualitas pendidikan di Siak yang terpuruk, tapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan runtuh.
Kini, masyarakat menunggu jawaban: apakah Bupati Siak berani merevisi kebijakan yang keliru ini, atau tetap bersikukuh dengan langkah-langkah yang justru mencederai harapan rakyatnya sendiri? ***