Dr. Adi Rahmat Tekankan Kepemimpinan Etis sebagai Kunci Budaya Mutu Perguruan Tinggi

Dr. Adi Rahmat Tekankan Kepemimpinan Etis sebagai Kunci Budaya Mutu Perguruan Tinggi

MimbarRiau.com - Di tengah dinamika pesat dunia pendidikan tinggi, Associate Professor Dr. Adi Rahmat, S.E., M.M., Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Lancang Kuning, menegaskan bahwa kepemimpinan etis merupakan fondasi krusial untuk membangun budaya mutu yang sehat di perguruan tinggi. Nilai-nilai keadilan, transparansi, dan integritas tidak lagi sekadar slogan, melainkan pilar yang membimbing lingkungan akademik menuju kualitas berkelanjutan.

Dr. Adi menyoroti bahwa kepemimpinan yang pasif terhadap isu etika berpotensi menciptakan perilaku merugikan, termasuk sabotase pengetahuan melalui penyebaran informasi yang menyesatkan demi kepentingan pribadi atau kelompok. 
Ia merujuk pada hasil penelitiannya di beberapa kampus Indonesia dan mengaitkannya dengan literatur akademik yang menunjukkan lemahnya panduan moral dari pimpinan dapat melemahkan keberanian moral bawahan untuk menegakkan kebenaran. Temuan tersebut sejalan dengan studi Quade, Bonner, dan Greenbaum (2022) yang menyoroti bahwa absennya panduan moral dari pimpinan meningkatkan risiko perilaku tidak etis karena bawahan kehilangan keberanian moral untuk bertindak benar.

Menurut Dr. Adi, kepemimpinan sejati tidak hanya soal memenuhi target akademik, tetapi juga menjaga nilai moral. Ia menegaskan bahwa pemimpin etis perlu memiliki tiga kekuatan moral utama: rasa tanggung jawab atas keputusan, keyakinan untuk berbuat benar, dan keberanian bertindak etis meski berisiko. 
“Diam bukan pilihan,” tegasnya. “Dalam konteks moral, diam berarti ikut bersalah.” 
Keheningan pemimpin terhadap pelanggaran etika dapat menjadi pupuk bagi tumbuhnya perilaku tidak sehat, sehingga pemimpin harus berperan sebagai teladan dalam tindakan sehari-hari.

Ia juga menyoroti paradoks bahwa amoralitas pemimpin sering kali lebih merusak di institusi yang secara formal memiliki budaya etika tinggi, karena ketidaksesuaian antara nilai ideal dan perilaku nyata menciptakan kebingungan dan kekecewaan di kalangan dosen serta mahasiswa, yang pada akhirnya mendorong sebagian pihak mencari jalan pintas demi kenyamanan pribadi.

Tantangan penerapan kepemimpinan etis di Indonesia muncul dari budaya akademik yang hierarkis dan paternalistik, di mana pemimpin sering terjebak pada dilema antara loyalitas institusional dan keberanian moral, atau antara kepentingan politik dan integritas ilmiah.

Untuk menjaga konsistensi nilai moral, diperlukan kerangka kelembagaan yang kuat, termasuk kebijakan whistleblowing, komisi etik kampus, dan audit akademik terbuka sebagai mekanisme perlindungan terhadap praktik etika, sambil menyarankan penyelarasan kebijakan kampus dengan regulasi nasional, khususnya Permendikbud No. 39 Tahun 2025.

Secara konkret, Dr. Adi mengusulkan langkah-langkah seperti menegakkan standar etika melalui kode etik yang jelas dan konsisten, menjadi teladan moral dalam setiap keputusan dan tindakan, melibatkan dosen serta staf dalam proses pengambilan keputusan, menjamin kesejahteraan serta keseimbangan kerja bagi semua pihak, menjalankan evaluasi dan promosi jabatan berbasis meritokrasi yang transparan, membangun komunikasi dua arah yang aman dan terbuka antara pimpinan dan sivitas akademika, serta mengintegrasikan prinsip etika ke dalam sistem penjaminan mutu internal.

Ia menekankan bahwa langkah-langkah tersebut akan memperkuat budaya mutu yang berkelanjutan, di mana keberhasilan akademik berjalan seiring dengan tanggung jawab moral dan sosial.

Dr. Adi menutup pandangannya dengan metafora yang kuat, “perguruan tinggi ibarat kapal besar; etika adalah kompasnya, dan pemimpin adalah nakhodanya. Tanpa kompas, kapal berlayar tanpa arah; tanpa teladan etika, pemimpin berisiko menenggelamkan kapalnya.”

Bagi Dr. Adi Rahmat, kepemimpinan etis bukan sekadar upaya menjaga reputasi lembaga, tetapi sebuah misi moral untuk memastikan generasi akademik Indonesia tumbuh dalam integritas, keberanian, dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Hanya melalui kepemimpinan yang berpegang pada nilai-nilai etika, perguruan tinggi dapat menjadi mercusuar keilmuan yang benar-benar beradab dan bermakna bagi masyarakat.

Implikasi praktisnya adalah perlunya membangun kerangka kelembagaan yang kuat untuk kepemimpinan etis, termasuk kebijakan whistleblowing, komisi etik kampus, dan audit mutu internal yang transparan. Langkah-langkah regional seperti peningkatan kapasitas evaluasi karya dosen, transparansi promosi jabatan, dan dialog lintas fakultas dapat mempercepat adopsi praktik etika yang konsisten di seluruh institusi.

Berita Lainnya

Index