MimbarRiau.com - Pengungkapan kasus dugaan penggarapan kawasan hutan secara ilegal di Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada 2024 lalu menyeret dua warga, Jisuri dan Zakaria, sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Setempat.
Keduanya kini tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Siak Sri Indrapura dan di tuntut JPU Kejagung masing-masing 4 tahun penjara.
Kendati demikian, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri dalam perkara tersebut justru menyisakan tanda tanya besar di tengah masyarakat, dua nama lain yang diduga memiliki peran penting hanya berstatus sebagai saksi dalam perkara ini.
Berdasarkan dokumen perkara dan informasi dari berbagai sumber, kasus ini bermula sekitar tahun 2022. Saat itu, Wenri Hutabalian, yang kini menjadi saksi dalam perkara ini, mengajak Jisuri dan Zakaria untuk mengelola lahan yang ternyata masuk dalam kawasan hutan negara, sebagaimana tertuang dalam SK Menteri LHK No. SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016.
Mereka bertiga kemudian menemui Kepala UPT KPH Mandau, Zailani, yang menyarankan agar dibentuk Kelompok Tani Hutan (KTH).
Dari sinilah terbentuk KTH Putra Betung Makmur, dengan seorang pria bermama Hakim sebagai ketua dan Jisuri sebagai anggota.
Pada 27 November 2022, mereka mengajukan permohonan pengecekan lokasi ke UPT KPH, meskipun saat itu lahan masih berupa hutan yang belum dikelola.
Puluhan warga yang merasa menjadi korban dalam kasus jual beli lahan di Kampung Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau menyampaikan keprihatinan mereka menjelang sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Siak Kamis (10/7).
Mereka menyayangkan tidak ditetapkannya Kepala UPT KPH Mandau, Zailani, sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dalam persoalan tersebut oleh Bareskrim Polri.
Menurut warga, kehadiran mereka ke pengadilan bertujuan untuk mencari keadilan sekaligus menyuarakan harapan agar semua pihak yang terlibat dalam proses jual beli lahan ini turut menerima ganjaran terkait dugaan tindak pidana yang mereka lakukan.
Mereka merasa ada keterlibatan pihak-pihak tertentu yang membuat proses jual beli lahan tersebut seolah sah dan tidak bermasalah di mata hukum.
Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa dia dan warga lainnya membeli lahan tersebut karena merasa yakin tidak ada persoalan hukum di dalamnya.
Keyakinan itu muncul karena adanya peran dan keterlibatan Zailani sebagai Kepala UPT KPH Kecamatan Sungai Mandau, yang dinilai memberi kesan legalitas pada transaksi yang mereka lakukan.
Penyelidikan yang dilakukan Bareskrim Polri memang berhasil menyeret Jisuri dan Zakaria sebagai pelaku utama dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
namun sangat disayangkan terhadap Wenri Hutabalian maupun Zailani, meskipun keduanya disebut-sebut berperan penting sejak awal pembentukan KTH hingga pengecekan lokasi hutan tidak terseret dalam kasus tersebut dan hingga kini masih dapat menghirup udara bebas dan Zailani masih aktif sebagai seorang ASN.
“Seharusnya proses hukum dilakukan secara adil. Jika benar ada keterlibatan dari pihak-pihak yang kini hanya menjadi saksi, maka perlu ada evaluasi atas status hukum mereka,” ungkap seorang pengamat hukum lingkungan yang enggan disebutkan namanya.
Dalam proses penggarapan lahan tersebut, menggunakan alat berat, salah satunya milik seorang pengusaha di Pekanbaru bernama Herri Chandra jenis Excavator merek Hitachi ZX210F.
Alat berat ini disewa oleh seseorang anggota kepolisian aktif di Polda Riau. Namun, penasehat hukum dari pemilik alat berat, Martdiantos, menjelaskan bahwa kliennya hanya menyewakan alat berdasarkan kontrak perjanjian sewa menyewa alat berat dan tidak mengetahui bahwa lahannya bermasalah.
“Kami tegaskan bahwa pemilik alat berat tidak terlibat dalam praktik ilegal ini. Bahkan, alat berat tersebut disewa oleh seseorang yang diketahui merupakan oknum Polda Riau bernama Surya,” terang Martdiantos.
Namun, Martdiantos juga bilang bahwa kliennya tidak memiliki keterlibatan langsung dalam kegiatan perambahan hutan tersebut.
“Nama Surya memang pernah disebut dan sudah diperiksa oleh Bareskrim Polri, tapi hanya sebatas sebagai saksi. Ia tidak pernah berada di lokasi ataupun terlibat dalam pengelolaan kawasan,” tambahnya.
Saat ini, sidang terhadap Jisuri dan Zakaria masih berlangsung di PN Siak, dimana kedua terdakwa dituntut JPU dari Kejagung masing-masing 4 tahun penjara dan satu unit alat berat jenis Excavator merek Hitachi ZX210F dirampas untuk negara.
Majelis hakim yang diketuai oleh Fajri Ikrami, SH memutuskan untuk menunda jalannya persidangan yang digelar pada Kamis (10/7). Keputusan tersebut diambil majelis setelah mempertimbangkan sejumlah pertimbangan hukum dan teknis dalam proses persidangan.
Dua orang hakim anggota turut menyetujui penundaan ini, yang dijadwalkan akan dilanjutkan 22 Juli mendatang.
“Sidang hari ini kami tunda dan akan dilanjutkan dua minggu ke depan,” ujar Ketua Majelis Hakim, Fajri Ikrami, SH, di ruang sidang.