Adik Jusuf Kalla dan Eks Dirut PLN Jadi Tersangka Korupsi PLTU

Adik Jusuf Kalla dan Eks Dirut PLN Jadi Tersangka Korupsi PLTU
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) Komisaris Besar Erdi Chaniago (kiri), Kepala Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kakortas Tipidkor) Mabes Polri Inspektur Jenderal Cahyono Wib

Jakarta - KORPS Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) menetapkan pengusaha Halim Kalla sebagai salah satu dari empat tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.

Halim Kalla merupakan adik kandung dari Jusuf Kalla, pengusaha sekaligus mantan wakil presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia. Halim diduga terlibat dalam kasus ini sebagai Presiden Direktur PT BRN. Selain Halim, Polri juga menetapkan eks Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) periode 2008 – 2009 Fahmi Mochtar sebagai tersangka bersama dua orang lainnya.

Fahmi merupakan orang pertama yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri pada 3 Oktober lalu. “Kemudian dari pihak swastanya ini ada tersangka HK, kemudian ada tersangka RR,” kata Kakortas Tipidkor Inspektur Jenderal Cahyono Wibowo saat konferensi pers di Mabes Polri pada Senin, 6 Oktober 2025.

Selain ketiga orang tersebut, ada pula tersangka dengan inisial HYL selaku Dirut PT Praba Indopersada.
 
Tindak pidana korupsi diduga terjadi saat pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat pada 2008 sampai dengan 2018.

Korupsi diduga dilakukan dengan modus permufakatan untuk memenangkan pihak tertentu yang tidak memenuhi syarat dalam lelang. Para tersangka juga diduga mengalihkan pekerjaan secara melawan hukum dan memberi imbalan kepada pihak terkait secara tidak sah, sehingga menyebabkan proyek pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat mangkrak.

“Ada permufakatan dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan. Setelah diteken kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sejak tahun 2008 sampai 2018 itu (proyek) dianggurin terus,” kata Cahyono.

Akibat proyek mangkrak, negara mengalami kerugian hingga ratusan miliar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung kerugian total mencapai 64.410.523 USD atau sekitar Rp 323.199.898.518.

Keempat tersangka dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berita Lainnya

Index