Skandal Pembahasan KUHAP

Selasa, 18 November 2025 | 10:08:43 WIB
Skandal Pembahasan KUHAP

MimbarRiau.com - DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintah sudah menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada tingkat pertama, pekan lalu. Selanjutnya, DPR akan mengesahkannya dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 18 November 2025. Namun hasil pembahasan itu menyisakan banyak masalah.

Di samping pasal-pasal kontroversial, muatan sejumlah pasal dalam RUU KUHAP diduga sudah mencatut nama koalisi masyarakat sipil. Kemungkinan besar DPR hendak menutup celah judicial review KUHAP ke Mahkamah Konstitusi, yaitu dengan berpura-pura memenuhi prinsip partisipasi bermakna dalam pembahasan rancangan undang-undang.

Pembahasan RUU KUHAP ini sudah berlangsung sejak Februari 2025, berawal dari keputusan DPR yang menetapkan rancangan undang-undang itu menjadi usul inisiatif mereka. Namun terdapat sederet kejanggalan selama pembahasan tersebut. Misalnya ketika DPR mengklaim bahwa diskusi antara perwakilan KoalisiMasyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP dan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman serta Badan Keahlian DPR pada 8 April 2025 merupakan rapat dengar pendapat umum untuk menyerap aspirasi masyarakat.

Sebaliknya, koalisi masyarakat sipil menganggap pertemuan itu hanya diskusi informal. Apalagi pertemuan itu tidak melibatkan segenap anggota Komisi III DPR yang bertugas membahas revisi KUHAP tersebut.

Koalisi masyarakat sipil makin gusar karena banyak pasal hasil kesepakatan DPR dan pemerintah dalam RUU KUHAP yang justru berpotensi disalahgunakan. Salah satunya ketentuan Pasal 16 ayat 1 yang mengatur tata cara penyelidikan dengan jalan olah tempat kejadian perkara, pengamatan, wawancara, pembuntutan, penyamaran,pembelian terselubung, pelacakan, dan penyerahan di bawah pengawasan. Operasi penyelidikan dengan pembelian terselubung dan di bawah pengawasan sebelumnya hanya menjadi kewenangan pada tahap penyidikan ataupun dalam operasi tindak pidana narkotik. Tapi, dalam RUU KUHAP, kewenangantersebut diperluas menjadi metode yang dapat diterapkan untuk semua jenis tindak pidana.

Keberadaan pasal-pasal bermasalah itu rentan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu celah produk legislasi DPR biasanya adalah tidak memenuhi prinsip partisipasi yang bermakna, seperti saat membuat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji formilundang-undang itu karena tidak memenuhi prinsip partisipasi bermakna pada 2021. Pembuat undang-undang diminta memperbaikinya.

Jadi sangat wajar jika DPR berusaha memenuhi prinsip partisipasi yang bermakna dalam pembuatan undang-undang. Hal ini menjadi masalah karena DPR diduga memenuhi prinsip tersebut dengan memanipulasinya.

Terkini