jakarta - MENDONGENG dan membacakan buku anak sebagai pengantar tidur menjadi aktivitas yang kian langka. Maklum, supaya bisa mendongeng untuk anak, orang tua perlu membaca.
Inilah yang menjadi masalah. Indonesia disebut berada dalam kondisi darurat literasi. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyatakan minat baca masyarakat Indonesia cuma 0,001 persen. Artinya, dari seribu, hanya satu orang yang gemar membaca.
Angka itu berkorelasi dengan data Badan Pusat Statistik yang menyatakan, pada 2025, hanya 17, 21 persen anak yang dibacakan buku cerita atau dongeng oleh orang tuanya. Selain itu, cuma 11,12 persen anak yang belajar atau membaca buku anak bersama orang tuanya.
Padahal mendongeng dan membacakan buku cerita untuk anak mengandung segudang manfaat. Dari mendorong kemampuan berbicara, membantu pertumbuhan kognitif, merangsang kreativitas dan imajinasi, membangun fokus, sampai mempererat hubungan dengan orang tua.
Yang terakhir—ini tak kalah penting—menumbuhkan minat membaca. Seperti kata banyak orang, membaca adalah gudang ilmu. Bayangkan, anak kita akan menjadi manusia langka yang hanya ada satu di antara seribu anak seusianya.
Di Indonesia ada segelintir penulis yang setia membuat buku anak, di antaranya Djoko Lelono dan Noor H. Dee. Djoko, 81 tahun, bahkan menelurkan karya sejak 1970-an. Dia bertahan di tengah gempuran hiburan anak yang datang dari segala lini: televisi, telepon seluler, tablet, dan laptop. Dalam Indonesia International Book Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta Pussat, pada akhir pekan lalu, merekamembagikan cerita cara membuat buku anak yang menarik.