Korupsi Dana Desa dan Pengkhianatan terhadap Harapan Rakyat

Senin, 17 Maret 2025 | 00:25:29 WIB

MimbarRiau.com - Pemilihan kepala desa atau sebutan lainnya, kini tak ubahnya seperti pemilihan kepala daerah. Selain tahapannya yang menyerupai pemilihan kepala daerah, persiapan setiap calon juga tak jauh berbeda.

Setiap calon memiliki visi misi (memang sudah seharusnya demikian), memiliki tim kampanye, bahkan setiap calon harus mengalokasikan dana kampanye untuk mempengaruhi keputusan pemilih.

Isu politik uang juga yang jarang mewarnai pemilihan kepala desa, baik yang mencuat ke permukaan maupun berlangsung dalam operasi senyap. 

Proses pemilihan kepala desa, atau keuchik, atau datok penghulu, atau reje, atau sebutan lainnya di Aceh maupun provinsi lain di Indonesia, sudah jauh berbeda dengan masa lalu.

Dulu, suasana persaingan tidak seketat sekarang. Bahkan, suasana kekeluargaan lebih kental karena ada kepala desa yang terpilih sampai beberapa periode. 

Bukan untuk melanggengkan kekuasaan atau regenerasi tidak jalan, melainkan karena sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kepala desa memang berperan sebagai pengayom, pelindung, pemimpin, bahkan panutan masyarakat.   

Di satu sisi, perubahan tersebut melahirkan suasana kompetitif yang bisa melahirkan pemimpin yang benar-benar kompeten sesuai harapan rakyat desa. Namun, karena adanya intervensi materi dalam mendukung keberhasilan seorang calon, sulit menghindari adanya politik dagang sapi di baliknya.

Pemimpin tingkat desa yang terpilih kemudian bukan lagi karena karakter kepempimpinan seperti ciri-ciri keuchik di masa lalu, melainkan calon yang ditopang materi kuat, baik milik sendiri maupun didukung pemodal yang orientasinya tentu keuntungan ekonomis atau politis. 

Tak heran bila kemudian banyak kepala desa terjerat korupsi, seperti yang terjadi di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang yang dijatuhi hukuman empat tahun penjara dalam kasus korupsi dana desa senilai Rp1,4 miliar.

Kasus seperti ini terlihat di berbagai tempat, meski banyak juga kepala desa yang bisa menjadi rujukan karena berhasil mengelola dana desa untuk kesejahteraan. 

Melimpahnya dana desa sesuai Undang-Undang Nomor 6/2014 membuat banyak tokoh masyarakat tertarik menjadi kepala desa. Sayangnya, semangat ini bukan dilandasi semangat membangun kemandirian dan kemajuan desa, tetapi kesempatan menyalahgunakan wewenang dalam pengelolaan dana dan aset desa.  

Laporan dari berbagai lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menunjukkan korupsi dana desa terus terjadi dengan berbagai modus, mulai dari mark-up proyek, laporan keuangan fiktif, hingga penyelewengan dana untuk kepentingan pribadi aparat desa.

Salah satu faktor utama maraknya korupsi dana desa adalah lemahnya pengawasan dan rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran desa. Minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan keuangan desa membuat oknum aparat desa lebih leluasa berlaku curang. 

Selain itu, masih banyak kepala desa kurang memiliki kapasitas dalam pengelolaan anggaran sehingga mudah tergoda menyalahgunakan wewenang. 

Penguatan sistem pengawasan, terutama oleh masyarakat desa sendiri, menjadi kunci utama. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah pemanfaatan teknologi digital dalam transparansi anggaran desa, seperti sistem e-budgeting yang dapat diakses oleh publik sehingga masyarakat dapat ikut serta mengawasi penggunaan dana desa secara langsung.

Penegakan hukum lebih keras dan efek jera bagi para pelaku korupsi dana desa harus terus ditingkatkan. Hukuman yang ringan atau sekadar pemecatan tidak akan cukup untuk menekan angka korupsi. 

Penerapan sanksi tegas, seperti pencabutan hak politik dan pengembalian seluruh kerugian negara, perlu diberlakukan agar menjadi peringatan bagi para pejabat desa lainnya.

Korupsi dana desa bukan sekadar masalah administratif, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap rakyat kecil yang seharusnya menikmati manfaat dari dana untuk membangun desa mandiri dan sejahtera. **

Terkini