Penetapan Formula UMP 2026 Berpotensi Memicu Unjuk Rasa di Berbagai Daerah

Rabu, 17 Desember 2025 | 12:46:12 WIB
Buruh dari Serikat Pekerja Nasional Jawa Barat berdemonstrasi menuntut kenaikan upah tahun 2026 sebesar 8,5-10,5% di Gedung Sate, Bandung, 16 Desember 2025. Tempo/Prima Mulia

MimbarRiau.com - KETUA Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Mirah Sumirat menilai formula penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2026 tidak menjamin terpenuhinya prinsip kebutuhan hidup layak atau KHL bagi pekerja dan keluarganya. Ia menyebutkan penetapan rumus penghitungan UMP 2026 yang berbasis angka ekonomi makro tidak mencerminkan terpenuhinya kebutuhan hidup layak pekerja.

Hal ini merespons pengumuman yang disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli  pada Selasa, 16 Desember 2025. Kemarin ia menyebutkan Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan formulasi penghitungan UMP 2026 yakni inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alfa). Adapun rentang alfa atau indeks tertentu ditetapkan sebesar 0,5–0,9.

Lebih jauh, Mirah menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023 yang telah mengamanatkan agar penghitungan upah minimum harus mengandung prinsip kebutuhan hidup layak, keadilan, dan kemanusiaan. Ia juga menyoroti keterlambatan penetapan kebijakan pengupahan yang seharusnya sudah diputuskan pada November 2025. 

Menurut dia, semestinya perpanjangan proses pembahasan penghitungan UMP bisa menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada pekerja. “Namun kenyataannya kenaikan upah yang dihasilkan tetap minimal dan jauh dari harapan buruh."

Mirah mewanti-wanti pelimpahan penetapan UMP kepada pemerintah daerah ini berpotensi memicu gelombang kekecewaan dan unjuk rasa di berbagai daerah. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap stabilitas hubungan industrial dan iklim ketenagakerjaan nasional. Atas dasar itu, Mirah pun mendesak sejumlah hal kepada pemerintah.

Pertama, mendesak peninjauan ulang rumus penetapan upah minimum agar menjamin kebutuhan hidup layak. Kedua, mengendalikan harga kebutuhan pokok dan layanan dasar agar kenaikan upah tidak tergerus inflasi. Ketiga, melibatkan serikat pekerja secara bermakna dan substantif dalam setiap proses pengambilan kebijakan pengupahan.

Menurut Mirah, tanpa langkah korektif, kebijakan pengupahan berpotensi memperlebar ketimpangan serta konflik hubungan industrial. Ia pun berharap kebijakan pengupahan ke depan mampu menciptakan keadilan, kepastian, dan kesejahteraan bagi pekerja, sekaligus menjaga hubungan industrial yang harmonis dan berkelanjutan.

Menaker Yassierli meminta kepada gubernur untuk menetapkan besaran kenaikan upah selambat-lambatnya 24 Desember 2025. Dalam PP terbaru telah diatur kewajiban gubernur untuk menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Gubernur juga diwajibkan untuk menetapkan upah minimum sektoral provinsi (UMSP) dan juga dapat menetapkan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). "Kebijakan Bapak Presiden ini sebagai bentuk komitmen untuk menjalankan putusan MK Nomor 168/2023," kata Yassierli seperti dikutip dari Antara.

Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, untuk segera membuat undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

MK memberi waktu maksimal dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan yang baru. Selain itu, MK mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.

"Proses penyusunan PP pengupahan ini telah melalui kajian dan pembahasan yang cukup panjang, dan hasilnya sudah dilaporkan kepada Bapak Presiden," ujar Yassierli

Terkini