Legitimasi Kekerasan terhadap Para Demonstran

Kamis, 02 Oktober 2025 | 11:30:49 WIB
Banner

Jakarta - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian Republik Indonesia. Aturan ini menuai kritik karena memberi kewenangan kepada polisi untuk menggunakan senjata api dalam menindak demonstran yang anarkistis. Masalahnya, tak ada penjelasan yang memadai bagaimana tindakan itu harus diambil.

Perkapolri No. 4/2025 ditandatangani pada 29 September 2025. Aturan ini diniatkan sebagai protokol penanganan aksi untuk melindungi polisi saat bertugas. Baik ketika menghadapi serangan yang menyasar markas kepolisian, asrama atau rumah dinas polisi, fasilitas umum, kendaraan, maupun personel itu sendiri. Regulasi yangterdiri 18 pasal itu berisi panduan bagi polisi untuk melakukan penangkapan, penyitaan, pemeriksaan, hingga penggunaan senjata api.

Listyo meneken aturan ini sebulan setelah momen unjuk rasa besar yang terjadi pada akhir Agustus 2025. Ketika itu demonstrasi di berbagai daerah banyak berakhir dengan aksi pembakaran dan penjarahan sejumlah fasilitas publik. Beberapa kendaraan dan kantor polisi ikut menjadi target perusakan. Polisi lalu menangkap 6.719 pelaku kerusuhan. Sebanyak 997 di antaranya kini menyandang status tersangka.

Sejumlah kalangan akademikus dan masyarakat sipil menilai aturan itu problematik. Dalam urusan penggunaan senjata api, misalnya, perkap ini hanya mensyaratkan agar tindakan itu diambil secara tegas dan terukur. Ini berbeda dengan Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang memperbolehkan penggunaan senjata api jika petugas dalam kondisi terdesak atau terancam jiwanya.

Pasal yang mengatur penetapan provokator juga menimbulkan masalah yang tak kalah serius. Tanpa batasan yang jelas, aturan ini bakal membahayakan ruang demokrasi. Demonstran yang berunjuk rasa secara damai sewaktu-waktu bisa saja menjadi korban. Aparat bisa semena-mena memproses hukum para demonstran hanya karena ucapannya. Penahanan Figha Lesmana atasgagasannya untuk membubarkan DPR dapat menjadi contoh.

Sejumlah pasal juga dianggap mengangkangi ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Kapolri mengenalkan istilah baru berupa “penguasaan sementara”, sedangkan KUHAP hanya mengenal istilah “penyitaan”. Artikel berjudul “Ancaman Kekerasan di Balik Aturan Penanganan Demonstran” mengupaspermasalahan hukum di balik penerapan aturan tersebut. 

Terkini