NTT - PULAU Komodo di Nusa Tenggara Timur, kini telah menjadi salah satu destinasi yang makin mendunia dengan kunjungan wisatawan mancanegara tanpa henti. Di satu sisi pariwisata dapat mempengaruhi perekonomian. Namun sekaligus menyimpan potensi ancaman, terutama pada populasi reptil purba terbesar yang masih hidup hingga saat ini, Varanus komodoensis atau komodo.
Pengamat satwa liar Raden Wisnu Nurcahyo mengungkapkan penelitiannya tentang penyakit parasit pada komodo, menyoroti korelasi pariwisata secara masif dengan ancaman populasi di Pulau Komodo itu.
"Penyakit parasit, cacingan, hingga infeksi dari manusia bisa turut mempengaruhi populasi komodo," kata Wisnu yang juga guru besar di Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta , Kamis 25 September 2025.
Menurut Wisnu dalam upaya menjaga pelestarian satwa liar seperti komodo, terdapat konsep sakral yakni one health one welfare. Dalam konsep itu ditegaskan bahwa kesehatan manusia, satwa, dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa saling dipisahkan dan berdiri sendiri. Regenerasi makhluk hidup terus berlanjut dengan dukungan lingkungan, ekosistem, dan habitatnya.
Sementara pencemaran lingkungan akibat masalah sampah dari industri pariwisata yang terus meningkat, dapat mempengaruhi rantai makanan sehingga bisa memutus daur hidup mahluk di dalamnya.
"Eksploitasi alam untuk pariwisata berlebihan memiliki dampak turunan, seperti makin tingginya potensi jejak sampah plastik, bahkan penularan penyakit dari manusia ke hewan yang bisa mengganggu keseimbangan ekosistem," ujar Wisnu.
Ketika lingkungan hidup di sekitar satwa ini tercemar, maka hewan yang menjadi mangsa utama komodo seperti rusa atau kerbau juga turut terancam hilang atau habis. Hal ini bisa berdampak serius pada rantai hidup komodo. "Kalau ingin komodo tetap sehat, lingkungannya pun harus dijaga,” ujar Wisnu.
Wisnu mengingatkan, komodo adalah simbol kebanggaan Indonesia yang otentik. Seperti harimau, gajah, orang utan, serta berbagai satwa endemik lainnya. "Apabila populasinya dibiarkan terus berkurang, tidak menutup kemungkinan komodo berakhir sama seperti dinosaurus, sebatas terekam pada buku sejarah yang tidak terurus," kata dia.
Oleh sebab itu, selain riset dan kebijakan, menurutnya perlu kampanye lebih intensif untuk menyorot eksistensi komodo sebagai satwa endemik Indonesia, terlepas dari keuntungan yang bisa didapatkan.
“Konservasi komodo bukan sekedar penyelamatan satu spesies langka, tetapi juga upaya menjaga keseimbangan ekosistem, kesehatan manusia, dan identitas bangsa," kata dia.
Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan UGM lainnya Aji Winarso mengatakan, ancaman terhadap populasi komodo yang diperkirakan tinggal 3.000 ekor di dunia saat ini datang dari berbagai faktor.
Selain aktivitas manusia, beberapa faktor ancaman lain di antaranya seperti kerusakan habitat, fragmentasi, inbreeding atau kawin sedarah, kompetisi pakan dengan manusia, perubahan iklim, perdagangan ilegal, hingga penyakit zoonotik.
"Konservasi yang baik justru sebisa mungkin meminimalisir kontak antara satwa liar dengan manusia. Itu mengapa komodo disebut satwa liar, karena memang harus dilepasliarkan,” ujar Aji yang saat ini masih berkutat meneliti tentang komodo itu.
Aji menuturkan, bahwa konservasi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat lokal. Ia menyebutkan tentang etno-konservasi di Pulau Komodo, yang memandang komodo sebagai saudara sepupu manusia, sehingga tidak ada pilihan selain ikut menjaganya meski seringkali komodo memburu ternak masyarakat.
Etno-konservasi menurutnya bisa menjadi prinsip untuk mencegah perilaku ekstraktif manusia yang memanfaatkan alam sebagai mata pencaharian. Selain itu, edukasi dan pemberdayaan pun menjadi strategi penting agar konservasi bisa selaras dengan kesejahteraan manusia.
Komodo sebagai satwa endemik Indonesia, telah berstatus endangered menurut IUCN sejak 2021 dan masuk pada Appendix I CITES, yakni hewan dilindungi yang populasinya terancam punah. "Diperkirakan jumlahnya hanya sekitar 3.300 ekor di dunia, keberadaan komodo perlu perhatian serius," ujarnya.